W A K A
L A H (الوكالة)
(PERWAKILAN
/ PEMBERIAN KUASA) (AGENCY)
POKOK BAHASAN :
1.
PENGERTIAN WAKALAH
2.
HUKUM WAKALAH
3.
SYARAT DAN RUKUN WAKALAH
4.
WAKALAH DAN IJARAH
1. PENGERTIAN WAKALAH
Pengertian wakalah menurut bahasa Arab :
الوكالة في اللغة
التَّفْوِيْضُ أو الْحِفْظُ
"Wakalah menurut bahasa artinya adalah
"menyerahkan" atau "menjaga"." (Taqiyuddin al-Husaini,
Kifayatul Akhyar, 1/283).
Catatan = secara bahasa, boleh dibaca wakalah, boleh
wikalah.
Pengertian wakalah menurut istilah syara' :
اَلْوَكَالَة
فِيْ الشَّرْعِ تَفْوِيْضُ شَخْصٍ
أَمْرَهُ إِلَى آخَرَ فِيْمَا يَقْبَلُ النّيَابَةَ لِيَفْعَلَهُ فِيْ حَيَاتِهِ
"Wakalah dalam istilah syara' adalah tindakan seseorang menyerahkan
urusannya kepada orang lain pada urusan yang dapat diwakilkan [menerima adanya niyabah(keterwakilan)],
agar orang lain itu mengerjakan urusan tersebut pada saat hidupnya orang yang
mewakilkan."
(Zakariya al-Anshari, Fathul Wahhab, 1/253; Taqiyuddin
al-Husaini, Kifayatul Akhyar, 1/283).
Contoh : seorang wali mewakilkan kepada petugas KUA untuk
menikahkan anak perempuannya.
Keterangan tambahan :
1. Kata "fi hayatihi " dalam frase (لِيَفْعَلَهُ فِيْ حَيَاتِهِ) maksudnya : untuk membedakan wakalah dengan
washiyat, sebab washiyat itu dilaksanakan setelah matinya pemberi washiyat.
Pengertian washiyat :
اَلْوَصِيَّةُ
هِيَ تَمْلِيْكٌ لِلْغَيْرِ مُضَافٌ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ
"Washiyat adalah pemberian [harta] kepada orang lain
yang diserahkan setelah matinya pemberi washiyat."
(Rawwas Qal'ah Jie, Mu'jam Lughah al-Fuqaha, h.
380).
2. Pengertian niyabah (keterwakilan; representation):
النيابة
هي قِيَامُ شَخْصٍ مَقَامَ غَيْرِهِ بِإذْنِهِ فِي التّصَرُّفِ بِحَيْثُ تَنْصَرِفُ
آثَارُ هذا التَّصَرُّفِ إلَى هَذا الْغَيْرِ
"Niyabah adalah tindakan seseorang menempati posisi orang
lain dengan seizin orang lain itu untuk melakukan tashorruf sedemikian rupa
sehingga akibat-akibat hukum dari tashorruf ini akan beralih kepada orang lain
itu."
(Rawwas Qal'ah Jie, Mu'jam Lughah al-Fuqaha, h. 369).
2. HUKUM WAKALAH
Wakalah hukumnya boleh (mubah), berdasarkan dalil-dalil Al-Qur`an
dan al-Hadis.
Dalil Al-Qur`an :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ
لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ
قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ
السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang,
untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu
ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS At-Taubah [9] : 60)
Ayat di atas, menunjukkan bolehnya wakalah. Sebab amil
zakat bertugas mengumpulkan dan membagikan zakat. Pada saat mengumpulkan zakat,
berarti amil zakat menjadi wakil para mustahiq untuk mendapatkan hak mereka.
(Imam Nawawi, Al-Majmu', 14/92).
Dalil lain dari
al-Qur`an :
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ
أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا
"Dan jika
kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam
dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan." (QS al-Nisaa' [4] : 35)
Ayat di atas menunjukkan bolehnya wakalah. Karena hakam
(juru damai) adalah wakil dari suami dan dari isteri yang bersengketa. (Imam
Nawawi, Al-Majmu', 14/92).
Dalil hadis antara lain :
روى جابر بن عبد الله قال: أَرَدْتُ الخْرُُوْجَ إِلىَ خَيْبَرَ فَأَتَيْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وقُلْتُ لَهُ: إِنِّيْ أُرِيْدُ الخْرُُوْجَ إِلىَ
خَيْبَرَ ، فَقَالَ اِئْتِ وَكِيْلِيْ فَخُذْ مِنْهُ خَمْسَةَ عَشَرَ وَسْقًا، فَإِنْ ابْتَغَى مِنْكَ آيَةً
فَضَعْ يَدَكَ عَلَى تَرْقُوْتِهِ. رواه أبو داود
"Meriwayatkan Jabir bin Abdullah RA, dia
berkata,"Saya bermaksud keluar ke Khaibar lalu aku mendatangi Rasulullah
SAW dan berkata kepada beliau,"Sesungguhnya aku akan keluar ke Khaibar.
Rasulullah SAW berkata,'Datangilah wakilku dan ambilllah darinya 15 wasaq.
Kalau dia minta suatu tanda darimu, letakkan tanganmu pada pundaknya." (HR
Abu Dawud).
Catatan :
1 wasaq = 130,56
kg takaran gandum.
Nishab zakat
pertanian = 5 wasaq = 652,8 kg (takaran gandum).
Jadi, 15 wasaq = 1.958,4
kg.
(Abdul Qadim
Zalum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, hal. 61).
Catatan : Hukum
mubah adalah hukum asal wakalah. Hukum ini dapat berubah menjadi hukum lain.
3. RUKUN DAN
SYARAT WAKALAH.
Rukun wakalah ada
4 (empat) :
1. Muwakkil
(orang yang mewakilkan).
2. Wakil
(orang yang mewakili).
3. Muwakkal
Fiihi (urusan yang diwakilkan).
4. Shighat (ijab kabul).
(Mahmud Yunus,
Al-Fiqh al-Wadhih, 2/34).
Keterangan :
1. Muwakkil
(orang yang mewakilkan). Syarat muwakkil adalah mempunyai ahliyyah
at-tashorruf (kecakapan melakukan tasharruf) yaitu : berakal (aqil), mumayyiz,
dan tidak ada ikrah (paksaan).
Jadi, tidak sah orang
gila dan anak kecil yang belum mumayyiz menjadi muwakkil (atau orang yang
mewakilkan).
2. Wakil
(orang yang mewakili). Syarat
: mempunyai ahliyyah at-tashorruf. (Syaratnya sama seperti syarat
muwakkil).
Jadi, tidak sah orang gila dan anak kecil yang belum
mumayyiz menjadi wakil dari orang lain.
3. Muwakkal Fiihi (urusan yang diwakilkan) :
Syaratnya ada 2 (dua), yaitu :
(1) urusan itu dapat diwakilkan (yaqbalu
al-niyabah). Kaidah fiqih :
كُلُّ
مَا جَازَ لِلإِنْسَانِ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيْهِ لِنَفْسِهِ جَازَ أَنْ يُوَكِّلَ
فِيْهِ أَوْ يَتَوَكَّلَ
"Setiap apa saja tasharruf yang boleh
dilakukan sendiri oleh seseorang, boleh bagi dia mewakilkan [kepada orang lain]
atau boleh juga dia mewakili [orang lain]."
Maka sah akad wakalah pada akad jual
beli, ijarah, rahn, nikah, dsb.
Namun tidak sah akad wakalah pada
segala sesuatu yang diharamkan, misalnya memungut riba, membeli khamr, membeli
babi/bangkai/najis, berjudi, dll.
Tidak sah pula akad wakalah pada
ibadah mahdhah badaniyah yang tidak dapat diwakilkan kepada orang lain, seperti
thaharah, puasa, sholat lima waktu, sholat Jumat. Kecuali beberapa ibadah,
seperti haji dan pembagian zakat.
(2) muwakkil mempunyai kewenangan /
otoritas (al-wilayah) pada perkara yang diwakilkan. Contoh :
kalau seseorang mewakilkan untuk menjual barang yang akan dimilikinya
nanti, maka wakalahnya tidak sah.
(Mahmud Yunus, Al-Fiqh al-Wadhih,
2/34; Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar, 1/283).
- Shighat (ijab kabul). Ada 2 (dua) syarat untuk
shighat.
(1) Pengucapan lafal. Untuk pihak
muwakkli disyaratkan pengucapan dengan lafal yang menunjukkan
keridhoannya. Misalnya ucapan, "Saya wakilkan kepada anda untuk membeli
ini." (wakkaltuka fi syiraa`i kadza).
Adapun dari pihak wakil, tidak
disyaratkan pengucapan dengan lafal, tapi syaratnya adalah tidak adanya
penolakan dari wakil. Kalau pihak wakil menyatakan penolakannya, misal dia berkata,"Saya
tidak menerima perwakilan ini." (laa aqbal), maka akad wakalahnya
tidak sah.
(2) Shighat wakalah tidak digantungkan
(ta'liq) pada suatu syarat tertentu. Misal, tidak sah akad wakalah
dengan mengucapkan,"Kamu akan menjadi wakilku untuk urusan ini, jika Fulan
datang dari perjalanan."
(Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 5/695);
Sayyid Al-Bakri, I'anah al-Thalibin, 3/84; Zakariya al-Anshari, Fathul
Wahhab, 1/253).
Beberapa hukum wakalah :
1. Wakil tidak berhak mewakilkan lagi kepada orang lain pada
pekerjaan yang dilakukannya, kecuali atas izin muwakkil.
2.
Wakil tidak menjamin kerusakan sesuatu yang diwakilkan
kepadanya, kecuali karena kelalaian / kesengajaan dari pihak wakil.
3. Pihak wakil atau muwakkil berhak memfasakh (membatalkan) akad
wakalah kapan saja. Jika salah satunya mati atau gila, maka akad wakalah menjadi
fasakh (batal).
(Mahmud Yunus,
Al-Fiqh al-Wadhih, 2/34)
4. WAKALAH DAN
IJARAH
Wakalah boleh
dilakukan tanpa ujrah (upah), boleh pula dilakukan dengan ujrah.
Wahbah Zuhaili
berkata :
تصح الوكالة بأجر وبغير أجر؛ لأن النبي صلّى الله عليه وسلم
كان يبعث عماله لقبض الصدقات ويجعل لهم عمولة ، ولهذا قال له أبناء عمه: «لو
بعثتنا على هذه الصدقات، فنؤدي إليك ما يؤدي الناس، ونصيب ما يصيبه الناس»
"Wakalah sah dengan upah atau tanpa upah. Sebab Nabi
SAW dulu pernah mengutus para amilnya untuk menerima zakat dan memberikan
kepada mereka upah. Karena itulah salah satu anak paman beliau berkata kepada
Nabi,"Hendaklah Anda mengutus kami untuk mengambil zakat, lalu kami
menunaikan tugas kami untuk Anda sebagaimana yang dilakukan orang lain, dan
kami pun memperoleh apa [upah] sebagaimana yang diperoleh orang lain." (Wahbah
Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 5/691).
Jika wakalah dilakukan tanpa upah, itu adalah suatu
kema'rufan dari pihak wakil. Jika dilakukan dengan upah, maka hukum wakalahnya
mengikuti hukum ijarah. [KH. Sidiq Al Jawi]
Tidak ada komentar :
Posting Komentar